Tiga Anak Saya Diperkosa Saya Lapor Ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan. - Project Multatuli

提供: 炎上まとめwiki
ナビゲーションに移動 検索に移動


Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. "JIKA kamu menulisnya," katanya, "apa yang akan berubah? "Kami mengandalkan polisi. Kami melaporkannya. Lydia melaporkan pemerkosaan yang dialami ketiga anaknya, semuanya masih di bawah 10 tahun. Terduga pelaku adalah mantan suaminya, ayah kandung mereka sendiri, seorang aparatur sipil negara yang punya posisi di kantor pemerintahan daerah. Polisi menyelidiki pengaduannya, tapi prosesnya diduga kuat penuh manipulasi dan konflik kepentingan. Hanya dua bulan sejak ia membuat pengaduan, polisi menghentikan penyelidikan. Bukan saja tidak mendapatkan keadilan, Lydia bahkan dituding punya motif dendam melaporkan mantan suaminya. Ia juga diserang sebagai orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Serangan ini diduga dipakai untuk mendelegitimasi laporannya dan segala bukti yang ia kumpulkan sendirian demi mendukung upayanya mencari keadilan. Lydia bukan namanya sebenarnya. Seorang ibu tunggal, setelah bercerai, ketiga anaknya ikut bersamanya. Mereka tinggal di Luwu Timur, sebuah kabupaten perbatasan di Sulawesi Selatan, 12 jam berkendaraan dari Kota Makassar. Kendati sudah bercerai, mantan suaminya masih ingin terlibat pengasuhan bersama. Mantan suaminya bebas menjemput ketiga anaknya saat pulang sekolah serta memberinya uang jajan atau mainan. Situasi itu berjalan terlihat normal sampai Lydia menyadari kenyataan yang disembunyikan: Ketika membantu anaknya mandi, ia menemukan beberapa bekas luka lebam di paha anaknya. Si anak beralasan, lebam-lebam itu karena jatuh saat bermain kejar-kejaran. Lydia menyarankan agar mereka berhati-hati. Meski demikian, bukan saja luka lebam, perilaku anak-anaknya berubah drastis, lebih suka diam, sering memukul. Malas makan. Sering pusing dan muntah. Pada satu malam awal Oktober 2019, saat Lydia mencuci piring, anak bungsunya berteriak bahwa kakaknya mengeluh sakit pada bagian vagina. Lydia segera mendekati anak sulungnya, memeluknya dari belakang sambil mengusap-usap pundak. "Nak, apa dibilang adek tadi? "Tidak ji, Mamak," jawab anak sulung. Ia membujuk, "Saya sayang sekali. Sayang sekali. Kalau ada masalah, ceritakan sama Mamak. Saya jadi penolong dan pelindung ta. Masak sama Mamak tidak berani? "Bilang, Nak. Kalau anak ada sakit, Mamak tidak tahu. Si sulung terdiam lama. Kemudian menangis tanpa berurai air mata. Ayah na anu pepe’ ku." Mamak, ayah melakukan sesuatu pada vagina saya, katanya. Lydia menangis, merebahkan badan pada sandaran sofa, "Jangan main-main, Nak. Ia bertanya kepada kedua anaknya, "Benarkah ini, Nak? "Iya, Mamak. Saya juga dianu pantatku," kata anaknya. "Saya juga Mamak," jawab anak bungsu. Ia meraih ketiga anaknya, menangis bersama. Kepalanya seakan meledak, ingin berteriak. Ketika berusaha berdiri menuju kamar mandi, untuk melepaskan tangis, cumshot ia terjatuh. Kakinya terasa kehilangan tulang. Anak-anak membantunya beringsut. Ia mengesot menuju sofa. Ia meracau. Dan mulai sadar saat anak-anaknya menegur, "Kenapa ki, Mamak? Emosinya pelan-pelan mampu ia lepaskan. Lalu memeriksa anak-anaknya, menemukan luka di bagian vagina dan anus. Pada malam yang terasa berjalan pelan dan panjang itu, ia menatap anaknya tertidur. Kebingungan. Kelelahan. Ia tak bisa tidur sampai pagi. PADA pekan kedua Oktober 2019, membawa ketiga anaknya, Lydia pergi ke kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dinas Sosial Luwu Timur. Di unit inilah, idealnya, seorang yang mengadukan kasus kekerasan bisa mendapatkan perlindungan. Kepala Bidang Pusat Pelayanan, Firawati, menerima Lydia di ruangan kecil bersekat. Sementara ketiga anaknya berada di fasilitas permainan di unit itu. Lydia menceritakan kepada Firawati mengenai kronologi pengakuan anaknya mengalami kekerasan seksual oleh ayah kandung sendiri. Bukan pertama-tama memprioritaskan ruang aman bagi Lydia dan ketiga anaknya, Firawati malah menghubungi terduga pelaku, mengabarkan ada pengaduan atas dugaan kasus pencabulan, sehingga mantan suami Lydia itu datang ke kantor Pusat Pelayanan. Firawati berdalih alasan mempertemukan terduga pelaku dengan ketiga anak untuk membuktikan apakah mereka trauma saat bertemu ayahnya. Firawati juga berdalih tindakannya itu atas izin Lydia. "Kan, sesama ASN. Mau dikonfirmasi," katanya. "Tahu, tidak? Semua anaknya berburu ke bapaknya. Justru mamaknya ditinggalkan. Bahkan anak-anak agak berat meninggalkan bapaknya waktu dipanggil sama Mamaknya," kata Firawati. Lydia, saat saya mengulang klaim cerita Firawati itu, mendengarnya sambil melongo. "Bagaimana mungkin dia bicara seperti itu? Bukan cuma Lydia dan ketiga anaknya berada dalam situasi rentan saat terduga pelaku mendatangi mereka, mantan suaminya itu seketika mendamprat Lydia dengan tuduhan mengajari ketiga anaknya mengadu, mengoceh kalau Lydia tidak becus mengasuh masa depan ketiga anaknya. Pengaduan itu tidak memberikan perlindungan bagi Lydia, alih-alih ia dipojokkan, disuruh pulang ke rumah untuk menunggu kabar selanjutnya. Keesokan harinya, Lydia dan ketiga anaknya diminta datang lagi ke kantor dinas Firawati. Dari proses ini, ketiga anaknya diperiksa secara psikologis oleh seorang petugas dari Puspaga, akronim untuk Pusat Pembelajaran Keluarga, unit kerja di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Belakangan diketahui si petugas itu tidak memenuhi kualifikasi sebagai psikolog anak.